Sang Pemberani Yang Sabar

Wanita muslimah ini telah beriman pada masa awal-awal kenabian Rasulullah. Peristiwa bukit Shofa adalah sebuah titik tolak untuk membuktikan komitmennya kepada Islam. Ia adalah salah seorang muslimah yang menyokong seruan Rasulullah ketika beliau bersabda kepada kerabatnya di bukit Shofa, „Sesungguhnya aku datang untuk memberi peringatan kepada kalian, bahwa di depan kalian terdapat siksa yang amat keras !"

Dialah Shofiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah sekaligus saudara perempuan sekandung Hamzah bin Abdul Muthalib. Ia masuk Islam bersama angkatan pertama orang-orang yang beriman kepada seruan dakwah nabi.

Sejak digulirkannya dakwah jahriyah (terang-terangan), Shofiyah tidak pernah lalai dalam menapaki tugas dan kewajibannya sebagai mukminah yang kaaffah (menyeluruh). Baginya, menerima Islam berarti pula rela untuk menggadaikan dirinya bagi kemuliaan Islam. Sejarah mencatat, bahwa Shofiah terhitung salah satu wanita yang amat gigih menyokong perjuangan Rasulullah. Dan segigih itu pula ia berdakwah kepada keluarga dan kaum kerabat yang terdekat. Putra laki-lakinya pun ikut masuk dalam barisan Islam. Tak ayal lagi, Shofiyah pun harus menghadapi teror, ancaman pembunuhan dan penghinaan dari musuh-musuh Islam. Shofiyah tidak pernah menyesali hal itu, karena itu memang telah disadarinya sejak awal ia menerima Islam secara utuh dan menyeluruh.

Ketika ancaman dan intimidasi begitu berat di Mekkah, Shofiyah dan anaknya ikut dalam rombongan hijrah ke Madinah. Hijrah dalam rangka menyelamatkan iman. Bertahun-tahun ia tinggal di Madinah dan selalu ikut berpartisipasi dalam perang-perang besar yang terjadi.

Perang Uhud menjadi saksi atas kegigihan Shofiyah. Dalam perang Uhud sebagian besar kaum muslimin melakukan tindakan yang tidak disiplin, lantaran tergiur oleh ghonimah (rampasan perang) yang berceceran di kaki bukit Uhud. Inilah satu kesalahan yang mengakibatkan serangan balik tentara kaum kufar. Peristiwa ini nyaris merenggut nyawa Rasulullah. Pasukan kaum muslimin kocar-kacir meninggalkan medan pertempuran. Di saat itulah naluri jihad Shofiyah menyeruak. Ia segera merenggut sebuah lembing, seraya diacung-acungkan dengan gagah.

„Apakah kalian akan meninggalkan Rasulullah ?" teriak Shofiyah bersemangat. Demi mendengan teriakan itu, semangat juang kaum muslimin yang sempat pudar, kembali bergelora. Mereka kembali menyongsong musuh dan akhirnya berhasil menyelamatkan Rasulullah.

Ketika perang usai, Hamzah saudara kandungnya gugur sebagai syahid dalam keadaan yang mengenaskan. Tubuhnya dicincang oleh Hindun yang ingin membalas dendam. Mendengar peristiwa itu Rasulullah memerintahkan putra Shofiyah untuk menjauhkan Shofiyah dari bekas medan pertempuran. Rasulullah khawatir Shofiyah akan shock melihat keadaan saudaranya itu. Namun, apa yang dikatakan muslimah itu ?

„Berita kematian saudaraku yang mati dalam keadaan tercincang demi membela agama Allah telah sampai kepadaku. Biarlah aku menjenguknya, insya Allah aku mampu bersabar ... !", demikian kata Shofiyah dengan tenang dan sabar.

Ketika Shofiyah sampai di depan jenazah Hamzah saudaranya, ia berkata, „Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu, wahai ayah Amarah. Semoga Allah mengampunimu. Kita adalah kaum yang biasa menyaksikan kematian dan kesyahidan ... sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya."

Di perang Khandaq (prang parit), Shofiyah kembali menorehkan catatan sejarah. Saat itu kondisi kaum muslimin di Madinah sangat kritis setelah pengkhianatan kaum Yahudi bani Qunaiqa. Pasukan musuh mengelilingi kota dari segala penjuru. Shofiyah yang tengah berjaga, melihat seorang Yahudi mengendap-endap mengelilingin benteng dan melewati parit. Mengetahui hal itu Shofiyah meminta Hasan untuk menyergap si yahudi. Namun Hasan tidak berani. Segera Shofiyah mengambil sebatang tongkat, lalu keluar dari benteng. Dengan mengendap-endap ia mendekati yahudi pengintai itu dan segera memukulkan tongkat yang dibawanya hingga si Yahudi terkapar mati.

Itulah Shofiyah binti Abdul Muthalib, sosok seorang muslimah kaaffah yang pemberani dan sabar. Di dalam tarikh Ath-Thabari diriwayatkan bahwa Shofiyah meninggal dunia pada zaman khalifah Umar bin Khattab pada usia lebih dari 73 tahun. Ia kemudian dikebumikan di pekuburan Baqi’. Beberapa hadits telah diriwayatkan dari lisan wanita sholihat itu, dan banyak pula para perawi yang meriwayatkan hadits yang berasal darinya.

Shofiyah ... semoga Allah menempatkannya pada tempat yang mulia di sisi-Nya.

Sisarikan dari Ummi no 12/VI/1995